Diberdayakan oleh Blogger.

Ibnu Sina Dormitory

Satu 1
Ibnu Sina Dormitory (Oktober)

Sepoi-sepoi angin malam yang berasal dari hamparan sawah yang terbentang luas dihadapanku mengharu birukan suasana malam di sebuah pondok pesantren trandisional yang berada di desa Ajuen, ini merupakan hari pertama bagiku menginjakkan kaki di pesantren tradisional Raudhatul Muna, setahun setelah keluar dari Pesantren Modern Bustanul Ulum di Kota Langsa.

Deru angin malam nan sejuk, cahaya bulan yang menerangi malam, serta bintang-bintang bertaburan diangkasa memutar kembali memori-memori dua tahun di asrama Bustanul Ulum dulu, sejak aku memasukinya kelas dua Tsanawiyah. Aku terus termenung, melukiskan keceriaan, keakraban, suka dan duka di sebuah surau kosong berukuran tiga kali empat meter sambil menunggu adikku selesai.

Sedangkan sebagian santri yang lain ada yang telah kembali ke kamar merefreshkan kepala ada yang menuju ke dapur untuk memenuhi panggilan jasmani setelah tiga jam mengikuti pengajian kitab yang dipimpin oleh seorang Tgk disetiap suraunya.

***

Aku menatap kosong ke hamparan sawah yang mulai tampak kekuningan. Seketika itu memori dahulu kembali terulang. Saat itu aku kelas dua Tsanawiyah di Bustanul Ulum, aku bersama teman-teman berbarengan menuju ke kelas pada sore hari menghadiri pengajian kitab yang bermacam-macam setiap harinya kecuali jum'at dan minggu. Selesainya, sekitar satu jam sebelum azan maghrib, kami buru-buru ke dapur mengambil makanan sebagai makan malam, ada yang mandi terlebih dahulu, ada yang mengantarkan pakaian kepada tukang cuci, ada juga yang hanya istirahat di kamar.

Setelah maghrib juga sesekali ada pengajian lagi di kelas, bagi yang free bisa istirahat di kamar atau menghafal al Quran di Mushalla. Aku lebih banyak menghabiskab waktu kosong dengan membaca buku agama, entah ngerangan apa yang membuatku saat itu tidak memiliki niat yang besar untuk mengafal al Quran. Begitu sampai Isya datang, dan terus berlanjut setelah shalat Isya sampai badan terasa lelah, dan mata terasa kantuk.

Genap delapan jam Istirahat, azan subuh pun berkumandang, udara pagi yang tidak begitu dingin memberikan hikmah tersendiri bagi sebagian warga Kota Langsa yang istiqamah mendirikan shalat jama'ah di masjid. Aku langsung bangkit dari tempat tidur setelah mendengan lafaz assalatu khairum minan naum, bagiku lafaz ini sudah menjadi bagian dalam muhasabah diri yang telah banyak melakukan dosa. Lantas saja aku membangunkan teman sekamar yang berjumlah sembilan orang. Kami bersepuluh tinggal di asrama Ibnu Sina kamar sebelas, asrama ini terdiri dari dua lantai dan memiliki dua belas kamar, setiap lantainya ada enam kamar. Kamar satu ditempati santri kelas lima dan enam sebagai asisten pamong, dua dan tiga santri kelas empat, empat sampai enam santri kelas satu. Sedangkan lantai dua, kamar tujuh dan delapan ditempati santri kelas tiga, sembilan sampai duabelas santri kelas dua. Setidaknya aku sedikit nyaman, karena 'kamar sebelas berada ditempat yang paling strategis diantara semua kamar' begitu kata orang-orang terdahulu.

Aku membuka pintu kamar ingin menuju ke kamar mandi, tangga berada di setiap sudut, biasanya aku turun lewat depan kamar duabelas karen lebih dekat, sambil mengetuk pintu-pintu kamar yang masih terkunci dari dalam. Kamar mandinya termasuk luas, di dalamnya terdapat bak sepertu kolam berukuran dua kali sepuluh meter. Karena air melebihi dua kulah maka sah sah saja kami langsung memasukkan tangan untuk berwudhu. Aku keluar kamar mandi dan membaca doa yang biasa aku baca, dan langsung menuju kamar melewati tangga yang berbeda sambil membangunkan teman yang masih tidur lainnya.

Shalat dipimpin oleh seorang Syaikh bermazhab Syafi'iyah yang didatangkan dari Mesir, beliau sudah dua tahun menetap di Pesantren ini. Karena pesantren ini juga Syafi'iyah, seperti kebanyakan orang Indonesia, Syaikh membaca Qunut di rakaat kedua setelah i'tidal. Qunut yang beliau baca berbeda dengan kebiasaan yang saya dengar, banyak doa-doa asing di telinga saya yang beliau tambah dan durasi Qunut juga yang hampir sepuluh menit membuat shalat subuh lebih panjang.

Ibnu Sina merupakan asrama khusus bagi orang-orang yang berkomitmen menghafal al Quran. Jadi, setelah Subuh kami memiliki jam tambahan di kelas selama satu setengah jam untuk menyetor hafalan. Udara pagi yang tidak terlalu dingin membuat langkah kaki sedikit ringan menuju kelas yang berjarak 300 meter dari Asrama. Setiap santri diharuskan untuk menyetor satu halaman. Namun sudah lumrah diantara sepuluh orang yang rajin pasti aja saja satu yang malas, diantara tujuh hari pasti ada satu hari yang lalai, penyakit ini yang membuat targetku sering terbengkalai.

Waktu makan pagi pun tiba ditandai dengan suara 'lonceng' yang berasal dari tabrakan batu dengan besi tiang listrik. Aku dan teman sekamar, fathir biasanya makan sepiring berdua. Jadi, tugas menuju dapur pun dibagi, aku mendapat jatah makan siang, dan fathir makan malam. Sedangkan makan pagi kami menjadwalkan ke dapur bersama, karena pagi udaranya segar, jarak dapur 100 meter dari asrama lumayan bisa menghirup udara segar yang masih berembun selama sepuluh menit. Kemudian bersiap-siap menuju kelas mengikuti jam sekolah umum. Begitu setiap harinya kegiatan selama dua tahunku di Pesantren dengan sedikit bumbu-bumbu yang berbeda.

***

Aku mengalihkan pandangan dari hamparan sawah ke surau tempat adikku mengaji. Mulai terlihat gerak-gerik tanda usainya pengajian. Terlihat adikku keluar dari surau dan menemuiku.

"Bagaimana, sudah selesai? Kenapa telat sekali selesainya?" tanyaku.

"Sudah bang, pembahasannya panjang bang, jadi lama" jawabannya polos.

"Yasudah, ayo pulang sudah jam.sebelas ini" ajakku seraya memutarkan sepeda motor merek suzuki berwarna putih sebagai saranaku untuk pulang-pergi sekolah.

Sesampai dirumah, makam malam sudah disediakan oleh mama, aku makan secukupnya, hanya untuk menganjal perut. Lalu aku menuju ke kamar yang berada di lantai dua dan melentangkan badan di atas kasur berbahan kapas. Aku menyetel alarm pukul satu dinihari, berharap bisa terbangun karena masih banyak tugas sekolah yang belum selesai.

Irama musik Lost Avenged Sevenfold mulai terdengar,, suara gitar yang fantastis menyadarkan alam imajinasiku, namun sulit rasanya untuk membuka mata.

Lirik lagu

Sudah dua menit lagu berjalan, aku terus berusaha membuka mata, dan berusaha untuk duduk. Badanku terasa sedikit pegal, mungkin karena penuhnya jadwal hari kemarin sampai-sampai tidak sempat merehatkan badan walau sejenak.

Tanpa buang-buang waktu, aku mengambil buku satu persatu yang bertumpuk di atas meja kecil. Semuanya buku mata pelajaran besok.

"Fiqh tidak ada tugas, Bahasa Indonesia juga tidak, aman! Satu lagi Kimia, ini ni yang ada tugas halaman 87" aku membatin.

Aku mengerjakannya dengan tulus, karena memang Kimia pelajaran yang mudah bagiku ketimbang pelajaran yang lain.

********rumus kimia

Aku terbangun pukul lima pagi ketika Azan berkumandang, ku dapati disekelilingku berserakan beberapa buku. Aku baru ingat, tadi aku tertidur tanpa sadar, lalu aku membuka halaman buku, "Alhamdulillah hampir selesai sedikit lagi, nanti di kelas aku sambung" aku meyakinkan.

Aku kembali dibayangi oleh suasana di pesantren, ketika waktu subuh shalat jama'ah di masjid.

"Apa aku bisa menerapkan di lingkunganku sekarang ini ya?" tanyaku dalam hati.

Memang, selama selesai Tsanawiyah dan melanjutkan Madrasah Aliyah Negeri yang tidak tinggal di asrama, aku sudah jarang bahkan tidak sama sekali kemasjid dalam satu bulan. Ini menjadi pukulan telak bagiku, aku coba merenungu sejenak. Terbesit dihatiku untuk segera keluar kamar, berwhudu, berpakaian rapi, dan aku pun melangkahkan kaki ke Meunasah yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Aku benar-benar menikmati jama'ah subuh ini, Tuhan masih memberiku taufiq dan hidayah sehingga kaki masih sanggup melangkah, mata masih mampu melihat, hati masih mampu merasakan cinta sang hamba kepada Tuhan yang menciptakannya.

Ayat

"Ini hari kamis,, so, malam jum'at tidak ada pengajian" sambil melihat kelender aku bergumam. Setidaknya hari ini tidak terlalu lelah harus sampai malam belajar. Langsung saja bersiap-siap, sarapan, dan berselancar di jalan yang sedikit berembun menuju sekolah.

***

Malam jum'at biasanya aku membaca al Quran lebih banyak dibanding waktu lainnya. Kali ini aku mengulang hafalan juz satu, membaca surat Yasin, dan al Kahfi. Setelah semua selesai, sekarang saatnya membereskan barang-barang yang berserekan. Wajar saja, kamar anak muda, pasti banyak yang berserakan. Ketika membuka lemari tempat menyimpan buku, aku melihat sebuah buku yang mencolok, covernya tebal kotak-kotak variasi warna hijau.

"What is that? Oh no, ini buku diaryku dulu ketika di pesantren. Masih ada ternyata" spontan terucap dari lisanku. Selama di pesantren aku sering melukiskan kejadian-kejadian aneh, seru, ajaib, dan horor ke dalam tulisan. Bukan tulisan-tulisan lebay yang banyak di dapat pada diary kebanyakan orang sekarang. Sehingga dua tahun disana hanya menghasilkan satu buku diary yang berjumlah 80 halaman.

Aku lantas membukanya dari awal, satu persatu sampai aku menemukab sesuatu yang membuatku tersenyum diiringi sedikit tawa.

IBSI, 10 Desember 2008

Alhamdulillah, puasa senin kamis berjalan lancar semoga tetap istiqamah, ini semua karena ada teman yang mau bareng juga. Jadi tidak sendirian makan sahurnya.

Tiga hari lalu, rabu sore, adik kelas satu lantai bawah minta di bangunin sahur. Sebelum-sebelumnya aku juga care sama mereka, jadi akrab gitu.

"Bang, puasa kamis besok?"

"InsyaAllah kalau bangun sahur, kenapa mau puasa juga?"

"Iya ni, tapi kalau bangun sahur. Ntar malam tolong bangunin ya"

"Yup, abang ketuk pintu nanti ya, dibuka! Jangan kirain hantu"

Waktu malamnya, aku bangun jam setengah tiga, stok untuk sahur sudah ada Indomie. Air ambil di dapur umum. Teringat adik kelas minta dibangunin aku pun turun ke bawah. Rencananya mau ketuk pintu. Tapi tiba-tiba berubah pikiran jadinya ketuk jendela belakang. Belakang asrama kan sedikit gelap, jadi lebih seru. "Tok tok tok,, bangun, bangun,,," dengan meminjam irama hantu-hantu di televisi. Semakin keras aku mengetuk dan bersuara. Akhirnya orang didalamnya ada yang terkejut juga.

"Hahaha,, seru juga dulu, sekarang siapa coba mau dikerjai" aku tertawa lepas.

Aku terus membuka halaman demi halaman menikmati goresan tinta sekitar tiga tahun yang lalu saat mengecap pendidikan di Bustanul Ulum. Sesekali membacanya. Dan meresapi arti kebersamaan selama di asrama Ibnu Sina dulu. Kuhidupkan laptop dan kutulis secarik kata bermakna buah dari nostalgia indah di malam nan sunyi.

“Tak ada yang benar- benar bisa hidup sendiri. Karena Alam terlampau luas. Kebahagiaan hanya untuk mereka yang mengerti arti Kebersamaan, Itulah Kita”

Kehidupan adalah sebuah siklus sebab akibat. Berbuat baik, saling berbagi dalam kebersamaan, menjalin sebuah hubungan yang positif itu pilihannya. Siapa yang menanam padi pasti akan tumbuh padi bukan? Sebuah kebersamaan juga tidak bisa dipaksakan. Meskipun ada hubungan timbal balik, seperti sebuah simbiosis tapi atas dasar kerelaan. Karena dalam menjalin sebuah hubungan sosial kita harus belajar bagaimana pentingnya saling memahami, mau mendengar, mau berbagi dan mau untuk peduli. Karena dengan begitu kita akan bisa memaknai sebuah kebersamaan.

Kebahagiaan dalam sebuah kebersamaan adalah ketika bahagia dengan kebersamaan itu sendiri. Artinya hubungan yang terjalin adalah sebuah kebaikan. Namun terkadang dalam menjalin sebuah hubungan kita harus bisa menciptakan ruang dan jarak. Mengambil jarak yang kita butuhkan. Membiarkan ruangan dalam sebuah hubungan. Menciptakan suatu ruang untuk berekspresi. Sebuah ruangan yang kita butuhkan untuk bergerak bebas. Sebuah jarak yang kita butuhkan untuk introspeksi. Melihat apa yang sudah kita berikan, dari sudut pandang yang lebih luas. Ketika kita terlalu dekat, sudut pandang kita terlalu sempit. Akibatnya penilaian kita menjadi lebih subjektif. Saat kita menjauh, kita bisa melihat lebih menyeluruh. Hal ini dibutuhkan untuk lebih objektif.

Karena kebersamaan itu sendiri bukan berarti kita selalu bersama-sama secara fisik, tapi lebih pada hubungan psikologis. Tidak selamanya kita akan selalu bertemu dan bersama, mungkin suatu saat kita akan berpisah. Memang sesuatu diciptakan mempunyai pasangan sendiri-sendiri, sepertinya halnya Pertemuan dan Perpisahan.

Dan semoga kebersamaan akan selalu ada, bersama indahnya masa yang terukir dan manisnya kenangan yang terekam. Kita tetap harus siap dengan segala kemungkinan dan apapun yang terjadi. Ketika niat kita adalah sesuatu baik maka hasil akhirnya pun akan baik.

0 komentar:

Posting Komentar