Diberdayakan oleh Blogger.

Cinta Menyapa

Hari pembagian rapor semester dua pun tiba. Aku sangat yakin akan lanjut ke kelas duabelas, namun yang diragukan apakah aku masih mampu mempertahankan peringkat di kelas walaupun itu dua puluh besar. Pembagian rapor kali ini wajib diambil oleh orang tua atau wali. Namun bagiku tak apalah karena nilainya juga bagus apalagi pelajaran Teknologi Komunikasi.

"Kamu dapat peringkat duabelas, sama seperti semester satu. Untuk kedepan harus ditingkatkan, kalau bisa sepuluh besar", harap orang tuaku.

"Yup, akan diusahkan ma", aku meyakinkan.

Rapor langsung aku masukkan ke ransel dan orang tuaku langsung pulang.

Aku penasaran, kenapa bisa peringkat duabelas sama seperti semester awal. Dan juga ini bukan yang pertama, karena kelas sepuluh aku juga dapat peringkat tiga di dua semesternya. Ah... Kesimpulannya aku mungkin sulit untuk menyerang, tapi aku dapat bertahan jika diserang.

Aku menuju gubuk kantin melepas kecemasan, disana sudah berkumpul teman seperjuanganku.
"gimana nilaimu", tegurnya.

"Ah... Tidak sebaik nilaimu", jawabku polos.

Aku hanya memesan air mineral yang kaya manfaat. Dan berniat menuju parkir langsung cabut dari sekolah.

Baru beberapa meter dari kantin, langkahku terhenti. Dari kejauhan aku melihatnya--seseorang yang aku kagumi dan juga dekat denganku akhir-akhir ini-- sedang duduk bersama temannya di jalan masuk halaman sekolah. Sejenak aku terpaku, tak tahu bagaimana cara untuk memulai. Jalan satu-satunya menuju parkiran adalah melewati pintu masuk tersebut. Aku mulai melangkah, mencoba untuk tetap santai, karena itu ciri khasku.

"Bagaimana nilainya, dapat peringkat berapa?", tanyaku santai.

"enggak sebagus yang diharapkan, tapi masuk sepuluh besar", jawabnya lesu.

"lho, itu nilainya sudah bagus, tinggal tingkatkan lagi aja", aku memberi semangat.

"Kamu dapat peringkat berapa?", tanyaku kepada teman di sampingnya.

"Alhamdulillah tiga, tapi enggak tinggi nilainya, rata-ratanya beda tipis sama kalian kok. Eh... Aku duluan ya, sudah di jemput", jelasnya sambil beranjak pergi.

Temannya bergegas keluar menuju gerbang sekolah dengan senyum perpisahan.

"Kamu enggak pulang, dijemput?", tanyaku simple.

"Enggak, belum mau pulang mungkin bentar lagi. Kamu pulang duluan aja."

"Ah gampang itu dekat kok, cuma 7 KM. Pulang sama siapa juga?"

"Pulang sendiri, naik angkutan umum dari halte. Memangnya pulang naik apa?"

"Masih dengan motor kesayangan,hehe jangan lama-lama disini nanti dicariin sama orang tua, mana tau dirumah nanti ada surprise, yuk bareng ke halte."

Iya pun mengangguk setuju, kami pun keluar dari sekolah yang megah menuju halte.

"Oa, kita kok bisa kenal ya, padahal bukan satu tsanawiyah dulu" iseng-iseng aku bertanya.

"Mm,, uda takdirnya begitu mungkin, kan manusia diciptakan berbeda-beda agar saling mengenal." jawabnya dengan senyum.

"iya ya bener juga,, jujur, aku kagum dengan sendirinya sejak pertama kenal kamu." jelasku meyakinkannya.

"Kalau aku sudah lama kagum sama kamu jauh-jauh hari sebelum kamu kenal aku." balasnya dengan senyum.

Bersambung . . .

***

Cerpen ini ditulis demi terpenuhnya tugas dalam suatu organisasi cabang Indonesia di Cairo.

0 komentar:

Posting Komentar