Suasana Ramadhan di Negeri Seribu Menara
Bulan Ramadhan sudah dipenghujungnya, bagi sebagian orang ada yang melewatinya dengan melaksanakan ibadah sepanjang hari, dan sebagian yang lainnya ada yang melewatinya dengan ibadah dan beraktivitas seperti biasa. Bulan yang penuh keberkahan ini menjadi perhatian penuh bagi muslim yang taat diseluruh dunia untuk melewati hari-harinya dengan segala macam ibadah.
Ini merupakan Bulan Ramadhan yang kedua, selama saya berada di Cairo, jelas terasa beda suasana puasa di Aceh dengan Cairo. Berawal dari durasi waktu berpuasa yang lebih panjang sekitar 4 jam dengan Aceh, karena Bulan Ramadhan datang pada saat musim panas.
Biasanya pada sepuluh hari terakhir di Bulan Ramadhan, saya bersama teman-teman Aceh beri'tikaf di Masjid tertua di Afrika, Masjid Amru bin Ash yang terletak di Fustat, Cairo. Disana memang menjadi pusat i'tikaf warga Mesir. Namun karena kondisi mesir yang kurang kondusif untuk keluar rumah, kami membatalkan rencana i'tikaf tahun ini di Masjid tersebut. Batalnya i'tikaf di Masjid Amru bin Ash memang sedikit mengubah nuansa Ramadhan tahun ini dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ditambah lagi hiruk pikuk yang terus berlanjut, seakan-akan bulan Ramadhan belum kunjung tiba.
Terlepas dari kondisi Mesir sekarang ini. Puasa di Negeri Orang memang memiliki kesan tersendiri, hal itu mulai saya rasakan ketika melihat cara bersedekah orang Mesir dalam bulan ini yang begitu fantastis, banyak masjid yang mengadakan buka puasa bersama setiap harinya, terlebih lagi sepuluh hari terakhir ini, sampai-sampai saya dan teman-teman yang berada di kawasan Mathareya tidak perlu memasak makanan berbuka untuk sepuluh hari terakhir, semuanya sudah disediakan oleh orang Mesir yang dermawan.
Juga diwaktu lain pada bulan-bulan Ramadhan ini, ketika melihat warga asing yang tujuannya ke Mesir untuk menuntut ilmu, sering sekali mereka memberikan bantuan berupa uang dan sembako --hal ini tidak hanya terjadi pada bulan Ramadhan, tetapi juga pada bulan lainnya--, mereka sangat yakin dan paham benar dengan hadits yang membahas tentang pahala orang yang bersedekah. Ditambah lagi mereka senang terhadap penuntut ilmu yang datang dari jauh ke negerinya.
Shalat Tarawih di sebagian Masjid juga sedikit berbeda dengan Aceh. Hampir rata-rata Masjid mengkhatamkan satu Juz Al Quran dalam setiap shalat tarawih. Dan yang unik bagi saya pada sepuluh terakhir Ramadhan, beberapa Masjid yang saya kunjungi tidak melaksanakan shalat witir berjamaah setelah shalat tarawih, para jamaah langsung bubar, itu dikarenakan shalat akan disambung kembali dengan tahajjud/shalat malam berjamaah.
Disisi lain, ada beberapa masjid di Cairo yang langsung diimami oleh mahasiswa pendatang seperti Indonesia, Malaysia, Nigeria, dan negara lainnya. Sebut saja mahasiswa Aceh, ada beberapa yang menjadi imam di Masjid kawasan Mathareya, ada yang menjadi imam di kawasan Qattameya, Muqattam, Rab'ah, dan tempat lainnya untuk menjadi imam tarawih, witir, serta tahajjud pada sepuluh hari terakhir. Para Imam membawa irama indah dalam shalat sehingga menambah minat orang Mesir dengan bacaan Al Quran mahasiswa Melayu (baca: Indonesia, Malaysia).
Orang Mesir sangat menyukai bacaan Al Quran mahasiswa Melayu dengan suara khasnya. Sebagian dari Mereka sering mengatakan, suara mahasiswa Indonesia dan Malaysia bagus-bagus semua seperti bacaan Imam-Imam terkenal. Walaupun dilihat secara nyata tidak semuanya memiliki suara yang merdu, tapi setidaknya para Imam telah mengharumkan nama daerahnya di mata orang Mesir.
Menjadi pelajaran yang berarti ketika melihat cara bersedekah dan ibadah secara jamaah orang Mesir selama bulan Ramadhan, yang patut kita contoh. Kita juga berharap semoga amalan-amalan yang telah kita lakukan dan yang akan kita laksanakan di bulan Ramadhan yang tinggal beberapa hari lagi ini diterima oleh Allah. Dan harapan kita semua bisa menjadi orang yang muttaqin dalam dimensi hablumminallah wa hablumminannas. Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar